Sumber : http://www.anneahira.com/macam-macam-search-engine.htm
http://prey4.wordpress.com/2008/05/25/fungsi-dan-macam-macam-search-engine/
Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak jaman para leluhur ,di mana pada jaman dahulu mereka sering berperang antar suku sehingga mereka melatih diri mereka agar kuat dan mampu menembus benteng lawan yang konon cukup tinggi untuk dilompati.
Seiring berkembangnya jaman, tradisi ini turut berubah fungsinya. Karena jaman sekarang mereka sudah tidak berperang lagi maka tradisi lompat batu digunakan bukan untuk perang lagi melainkan untuk ritual dan juga sebagai simbol budaya orang Nias. Tradisi lompat batu adalah ritus budaya untuk menentukan apakah seorang pemuda di Desa Bawo Mataluo dapat diakui sebagai pemuda yang telah dewasa atau belum. Para pemuda itu akan diakui sebagai lelaki pemberani apabila dapat melompati sebuah tumpukan batu yang dibuat sedemikian rupa yang tingginya lebih dari dua meter. Ada upacara ritual khusus sebelum para pemuda melompatinya. Sambil mengenakan pakaian adat, mereka berlari dengan menginjak batu penopang kecil terlebih dahulu untuk dapat melewati bangunan batu yang tinggi tersebut.
Sampai sekarang tradisi ini tetap eksis di tengah budaya moderen yang semakin menghimpit. Semoga saja kita dapat melestarikan budaya ini agar menjadi kebanggaan tersendiri untuk bangsa kita.
Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145 - 208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Pada masa itu Archelon, yang berukuran panjang badan enam meter, dan Cimochelys telah berenang di laut purba seperti penyu masa kini.
Penyu memiliki sepasang tungkai depan yang berupa kaki pendayung yang memberinya ketangkasan berenang di dalam air. Walaupun seumur hidupnya berkelana di dalam air, sesekali hewan kelompok vertebrata, kelas reptilia itu tetap harus sesekali naik ke permukaan air untuk mengambil napas. Itu karena penyu bernapas dengan paru-paru. Penyu pada umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 kilometer dapat ditempuh 58 - 73 hari.
Di dunia saat ini hanya ada tujuh jenis penyu yang masih bertahan, yaitu
- Penyu hijau (Chelonia mydas)
- Penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
- Penyu Kemp’s ridley (Lepidochelys kempi)
- Penyu lekang (Lepidochelys olivacea)
- Penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
- Penyu pipih (Natator depressus)
- Penyu tempayan (Caretta caretta)
Dari jenis-jenis tersebut, penyu belimbing adalah yang terbesar dengan ukuran panjang badan mencapai 2,75 meter dan bobot 600 - 900 kilogram. Penyu lekang adalah yang terkecil, dengan bobot sekitar 50 kilogram. Namun demikin, jenis yang paling sering ditemukan adalah penyu hijau.
Penyu, terutama penyu hijau, adalah hewan pemakan tumbuhan yang sesekali memangsa beberapa hewan kecil.
Dadung Awuk adalah jenis kesenian yang termasuk dalam kategori drama tari dengan pola pementasan dan alat alat musik yang hampir sama dengan Srandul.
Ceritera yang dimainkan dalam Dadung Awuk adalah kisah dari seorang tokoh yang benama Dadung Awuk itu sendiri, yang terdiri dari beberapa serial, mulai dari masa mudanya sampai ia mengabdi ke kerajaan Demak dan bertemu dengan Jaka Tingkir.
Untuk mementaskan pertunjukan Dadung Awuk secara lengkap diperlukan pendukung sebanyak kurang lebih 30 orang yaitu 9 orang sebagai pemusik dan vokalis serta 21 orang sebagai pemain yang terdiri dari pria semua.
Peran wanita di sini akan dimainkan oleh pria.
Kostum yang dipakai dalam pertunjukan bersifat realis sesuai dengan tokoh yang diperankan, ditambah dengan make up yang realis pula.
Dalam membawakan ceritera, aktivitas pemain dilakukan dengan tarian, tetapi dialog yang diucapkan adalah realis, seperti pembicaraan sehari-hari.
Adapun alat-alat musik yang dipergunakan hampir sama dengan peralatan musik Srandul yaitu angklung, kendang dan terbang.
Pertunjukan biasanya dilakukan pada malam hari selama kira-kira 7 jam dan sebelum permainan dimulai terlebih dahulu ada pra-tontonan berupa tetabuhan.
Pentas yang dipergunakan dahulu berbentuk arena atau di pendapan, tetapi sekarang sudah banyak digunakan panggung.
Apabila pertunjukan dilakukan di arena halaman, alat penerangan yang dipergunakan biasanya berupa obor, namun bila pertunjukan dilakukan di panggung atau pendapa, alat penerangnya berupa petromak atau malah lampu listrik.
Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas.
Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek.
Pengaruh busana penari gandrung dapat dilihat pada beberapa bagian busana penari kuntulan bersangkutan. Hanya saja ditambahkan kerudung, baju celana tertutup serta ada pengaruh Bali didalamnya. Tangan sang penari juga ditutup kaus tangan berwarna putih, dan kakinyapun tertutup kaus kaki putih. Sekarang busananya banyak mengalami modifikasi alias ubahsuai dari busana semula yang sebenarnya serba putih seperti warna bulu burung kuntul (bangau). Terkadang ada pengaruh Bali yang tercermin dari adanya untaian bunga kamboja ditelinga pemain Kuntulan ini.
Perangkat musik kuntulan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya sekitarnya dan tak dapat dipungkiri musik dan gerak tari Gandrung (tari rakyat setempat yang menjadi lambang Banyuwangi) juga ikut masuk. Namun irama dasarnya tetaplah sama dengan hadrah lainnya. Selain enam buah rebana sebagai alat musik utamanya (dalam kuntulan baku), ada penambahan-penambahan seperti jidor (semacam drum), beduk besar, beduk kecil, kenong, kluncing (triangle), gong, biola dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada. Selain itu bonang Bali kadang juga dipakai dalam kesenian kuntulan ini. Serta dalam beberapa kesempatan sering ditambahkan angklung caruk sebagai pemanis, dan lagi-lagi sesuai permintaan penonton. Sedangkan irama yang digunakan menurut Rizaldi Siagian seorang pakar etnomusikologi adalah irama silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali.
Kekhasan lain dalam kesenian hadrah kuntulan atau kundaran ini ialah iramanya yang mempunyai karakter keras,agresif dan menyentak bahkan saat tampil, para pemain musiknya terlihat seolah bahu membahu menciptakan nada yang dinamis dan penuh semangat sehingga wajar kalau disebut musik cadas khas Banyuwangi bahkan sesekali kita harus menutup telinga karena saking begitu keras suaranya, ditambah para pemain jidornya yang kadang seperti kesurupan saat bermain... Lagu-lagunyapun tidak selalu Islami, namun juga banyak memasukkan lagu-lagu daerah dan kadang lagu pop yang sedang populer saat ini.